Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Lampu Tuntul Dan Sepenggal Sejarahnya


Kelurahan Molinow - Kota Kotamobagu
Lampu tuntul ini sudah menjadi tradisi masyarakat Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Raya. 3 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat bersama-sama akan melakukan tradisi monuntul.

Traidisi ini di perkirakan sudah mulai sejak islam masuk wilayah Bolaang Mongondow 1866. Monuntul adalah bahasa asli daerah Bolaang Mongondow yang berarti menerangi dengan cahaya dari api. Asal katanya adalah Tuntul atau suluh jika disalin ke Bahasa Indonesia. Monuntul berarti menerangi malam jelang 3 Hari Raya Idul Fitri.

BACA JUGA:

Dahulu kala, Masyarakat menjalankan tradisi monuntul dengan membuat polombou atau obor dengan bahan bakar minyak kelapa. Wadahnya terbuat dari bambu, Ada juga dari rumah kerang. Seiring waktu berjalan, dalam perkembangannya wadah Tuntul mengalami perubahan. Ada yang terbuat dari lempengan aluminium, selanjutnya berubah lagi ketika memasuki jaman modern seperti sekarang dimana semua masyarakat memakai lilin ataw lampu yang wadahnya dari botol bekas dan di dampingi lampu hias dan mudah di dapatkan.

Lampu Tuntul biasanya di taruh didepan rumah. Jumlahnya disesuaikan dengan penghuni rumah. Misalnya penghuni suatu rumah terdapat 5 orang maka jumlah lampu Tuntul yang di pasang adalah 5. Ada semacam kepercayaan yang melekat bahwa, setial rumah yang memasang lampu Tuntul, akan didatangi Malaikat dan rumah itu akan diberkahi. Sebagian informasi yang berhasil di gali juga menyebutkan, jumlah lampu Tuntul yang di taruh didepan rumah, adalah metode statistik atau bentuk pendataan penduduk jaman dulu. Pendataan disini lazimnya dilakukan oleh pengurus masjid dan perangkat desa untuk menghitung jumlah pembayar zakat sekaligus pendataan penduduk kampung. Sedangkan cerita lain yang mengulas soal tradisi Tuntul mula-mula, menyebutkan bahwa hal itu dilakukan berdasarkan inisiatif yang dihimbau para pemuka Agama. Berdasarkan Navi Muhammad  SAW untuk memuliakan masjid dan malam-malam terakhir jelang Hari Raya Idul Fitri karna pada malam-malam terakhir dibukan ramadhan itu ada malam spesial yang kemuliaannya melebihi malam seribu bulan. Oleh sebab itulah, masyarakat menaruh lampu Tuntul sebagai suluh bagi orang-orang menuju ke masjid untuk sholat tarawih.

Waktu terus berjalan dari jaman ke jaman hingga pada akhirnya, lampu Tuntul tak lagi sebatas tuntutan sebagaimana disebutkan diatas, melainkan menjadi ajang kreasi kesenian bahkan dilombakan pemerintah setempat pada awal tahun 2000 di kotamobagu. Masyarakat lantas menjalankan tradisi Tuntul ini bukan hanya di depan rumah dan sesuai dengan penghuni rumah, sekarang semakin banyak dan semarak. Lebih dari itu tradisi monuntul kini merambah hingga ditepi jalan dan tanah lapang. Lapangan dihias sedemikian rupa dengan kreasi lampu berbagai bentuk. Unsur seni menyatu dalam tradisi mmTuntul ini.



Di Molinow, seperti tahun sebelumnya, tradisi monuntul di prakarsai oleh kalangan remaja atu pemuda yang tergabung dalam komunitas "Karang taruna bonobokon" dalam hal ini lurah kelurahan molinow sangat mendukung para pemuda molinow untuk menghias lapangan sedemikian rupa demi keindahan tradisi Tuntul ini. Bukan hanya kelurahan molinow bahkan dari setiap kelurahan yang ada di Kotamobagu.

Tak heran jika Kotamobagu kita melihat setiap kelurahan penuh berhias aneka ragam kreasi lampu Tuntul, yang dibuat sedemikian rupa, termasuk yang berbentuk kaligrafi Islami.

Post By. Fifi Bawole 

2 comments for "Lampu Tuntul Dan Sepenggal Sejarahnya"

  1. Monuntul sin koangoyan i lalilatur kadar..

    ini yg saya baru mengerti, batuntul sebagai penerang bagi yg akan ke mesjid untuk beribadah. Iya juga siy
    Malam makin semarak, tidak gelap lagi (bayangkan desa molinow sebelum kemerdekaan).

    LM

    ReplyDelete